Selasa, 12 Maret 2013

The Fake Arena Within The Proscenium Stage on The Two Versions of The Merchant of Venice

The very first difference I realize when I saw two versions of merchant of
venice is how the stages were built. The Broadway version of The Merchant of
Venice, which iIwill refer as BV, creates the proscenium kind of stage while the
movie version of it, which I will refer as MV, gives me the presentasion of
arena stage.

By this difference, each version seems to highlight the different issue. In BV,
since I saw it in two dimension stage, my perspective has been brought to one
landscape only; even though there is a possibility that the distribution of
spectators' attention may vary.

In MV, it's more like an arena since the movie has created the stage until its
detail. The environment in MV shows more than the BV does. Our perpective
becomes more holistic since we can see from various points of view of the stage.
However, we must aware that in the very same time, the stage is the fake arena.
There is someone who has organized which detail we should watch and in which
time it should be shown. The final result, we still have the fake arena within
the proscenium stage.

Penyajian Sistem Penalaran pada Kumpulan Karya Edgar Allan Poe


Penyajian sistem penalaran yang berbeda dari sistem penalaran Aristotelian pada
kumpulan karya Edgar Allan Poe menunjukan perlawanan kamu romantis terhadap
penyederhanaan logika dalam masyarakat Amerika pada abad ke -19.

Dalam kumpulan karya Edgar Allan Poe tampak adanya unsur unsur pembentuk sistem
penalaran yang berbeda dari sistem penalaran Arostetlian. Dalam konteks wacana
Gotik, sistem penalaran yang berbeda tersebut dikenal dengan istilah
dekonstruksi.

Masalah yang terdapat teridentifikasi antara lain; bagaimana teks menyajikan
sistem penalaran yang berbeda dari sistem penalaran Aristotelian, menunjukan
apakah penyajian sistem penalaran yang berbeda, dan apa signifikansi penyajian
sistem penalaran yang berbeda pada karya Edgar Allan Poe terhadap masyarakat
Amerika pada abad ke -19.

Konsep Logika dalam Karya Edgar Allan Poe

Hal pertama yang saya sadari ketika saya membaca karya Edgar Allan Poe, dalam
hal ini adalah tiga cerita pendeknya "The Black Cat", " The Tell-Tale Heart",
dan "The Purloined Letter", adalah tampaknya term-term persamaan logika dalam
narasi teks tersebut. Hal ini berkaitan dengan usaha karakter pembunuh atau
pelaku yang seringkali dianggap memiliki perilaku menyimpang, mengingat bahwa
argumen ini belum tentu sahih. Dari tiga cerita yang saya sebutkan tadi, dua
diantaranya bisa disebut cenderung identik. Dua karakter utamanya juga merupakan
narrator dari ceritanya yang berarti memiliki kekuasaan lebih banyak untuk
mengeluarkan suara di dalam ceritanya. Namun kekuasaan dalam bersuara ini
kemudian dimanfaatkan justru untuk menutupi diri para tokoh tersebut. Suara yang
dimiliki kemudian digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap perbuatan
mereka, membunuh.

Tokoh narator ini memberikan argumen- argument yang saya asumsikan sebagai term-
term dalam pengambilan keputusan dalam hukum logika. Argumen ini ditujukan untuk
menjustifikasi perbuatannya sehingga pada umumnya term- term ini harus dibuat
sedemikian rupa agar meyakinkan pembaca dan pada akhirnya pembaca dipaksa
memercayai kesimpulan yang ingin dicapai oleh tokoh tersebut. Namun ada sesuatu
yang saya anggap ganjil pada pengambilan kesimpulan oleh tokoh- tokoh ini. Hal
inilah yang nantinya akan menjadi fokus dalam penelitian saya.

Kerunutan dalam pengambilan kesimpulan dalam suatu konsep logika saya temui
dalam dua mata pelajaran, Bahasa Indonesia dan Matematika, pada tataran sekolah
menengah atas dan dalam suatu mata kuliah tersendiri bernama Logika pada tataran
perguruan tinggi. Konsep pengambilan kesimpulan pada umumnya terdiri dari tiga
argumen atau term. Term pertama bersifat asumsi umum bagi suatu kasus, term
kedua bersifat khusus, sedangkan term ketiga merupakan kesimpulan.

Sebagaimana dijelaskan Robert Con Davis(1983) bahwa Lacan memformulasi suatu
notasi mengenai petanda dan penanda. S' digunakan untuk menyimbolkan petanda,
s digunakan untuk meyimbolkan penanda, sedangkan garis yang memisahkan dua
simbol itu menyatakan jenjang yang membatasi keduanya. Notasi ini kemudian
dikembangkan menjadi bentuk algoritma yang menjelaskan karya Freud " Instincts
and Their Vicissitudes" seperti berikut ini:




Secara sederhana, algoritma di atas dapat diartikan sebagai berikut: ular
merupakan petanda sifat culas. Sifat culas merupakan salah satu penanda dari
sifat buruk Moriarty. Akumulasi dari petanda dan penanda tersebut adalah ular
menjadi petanda bagi sifat buruk Moriarty. Algoritma di atas saya rasa dapat
diaplikasikan untuk menjelaskan bentuk dari pengambilan kesimpulan dalam konsep
logika, yang berakar dari logika Aristotelian, di dalam karya- karya Poe.

Dengan demikian, tahap yang dimungkinkan untuk penelitian saya mengenai produksi
logika karya- karya Poe yang akan saya identifikasi melalui pengambilan
kesimpulan dari narasi tokohnya ialah:
1. Mengkategorisasi argumen- argumen yang ada ke dalam kesimpulannya.
2. Mengidentifikasi term yang dianggap sahih atau tidak menurut kaidah logika
Aristototeles.
3. Mengaplikasikan algoritma Lacan untuk membantu identifikasi bagi term- term
tertentu

Bagaimanapun, asumsi kejanggalan atau ketidaksahihan term- term yang dipakai
dalam narasi teks Poe yang berujung pada ketidaksahihan argumen dari tokoh dalam
narasinya masih patut dipertanyakan. Meski pada akhirnya saya dapat menunjukan
ketidaksahihan argumen para tokohnya, namun hal ini hanya berdasarkan pada
kaidah yang dibuat Aristoteles ribuan tahun yang lalu. Ada kemungkinan bahwa
justru hal ini yang menjadi tujuan dari Poe atau teks-nya, ingin mendefamiliasi
sebuah kaidah logika dengan membuat pengambilan kaidah yang tidak sahih sehingga
peninjauan terhadap konsep kembali dilakukan. Asumsi lain, menurut salah satu
respon terhadap argumen mengenai ketidaksahihahan term dalam narasi cerpen
tersebut, adalah memang Poe melakukan ini untuk memertanyakan asal muasal dari
term pertama.

Yang selama ini dilakukan adalah bahwa kita berkutat pada cocok tidaknya dua
term awal dengan kesimpulannya. Kegiatan demikian membuat kita luput untuk
memerhatikan asal dari dua term awal. Alih- alih mawas pada kemungkinan
ketidaksahihan term- term awal atau argumen awal, kita hanya akan disibukan
kegiatan mencocok- cocoka kepingan puzzle. Inilah yang dijadikan dasar mengapa
narasi- narasi pada karya Poe tersebut harus bertentangan atau menjadi janggal
satu sama lain.

Tampaknya, tinjauan lebih lanjut akan saya lakukan terhadap kaidah Logika dari
Charles Sanders Peirce mengingat Peirce memiliki latar belakang yang kurang
lebih sama dengan Edgar Allan Poe untuk melihat kemungkinan dari berbagai asumsi
di atas. Asumsi- asumsi lain yang mungkin luput untuk saya soroti menjadi tujuan
bagi postingan ini.

Catatan Kaki terhadap argumen Umberto Eco

Kalimat lengkap yang akan saya beri catatan kaki adalah

"[a]nd indeed, when the critic starts examining the actual stylistic merit of
the works under review, some doubts about their validity begin to surface, even
the suspicion that the reading public's enthusiasm is due to a misconception or
else inspired by speculative aims."

Sepertinya tinjauan teks, sebagaimana Barthes membedakan teks dan karya, yang
dimaksud dalam kalimat di atas ialah tinjauan yang tidak hanya mengandalkan
inspirasi dan cita rasa saja yang sempat dipertanyakan Socrates kepada Ion dalam
percakapan yang ditulis oleh Plato . Tinjauan ini akan mencakup aspek kebahasaan
dari suatu teks seperti diksi, gaya narasi, atau struktur kalimat dari sebuah
teks yang dijadikan objek, menyadari bahwa pertanda dan penanda berrelasi hanya
dengan adanya pembeda layaknya yang diungkapan Saussure. Dengan metode tinjauan
tersebut, kecurigaan mengenai nilai dari suatu teks sering timbul. Hal ini
disebabkan karena saat teks dikaji ternyata aspek kebahasaannya tidak cukup
layak untuk diberikan antusiasme yang demikian besar oleh penikmatnya. Misalnya
label laris pada sampul sebuah buku tidak kemudian menjamin bahwa kualitas
kebahasaan dari teks di dalam buku tersebut berbanding lurus dengan omzet
penjualan setiap eksemplarnya. Selain itu, spekulasi pasar juga turut andil
dalam proses ini. Asumsi saya adalah saat pasar kekurangan suatu genre buku
misalnya dan kemudian ada seorang penulis yang menerbitkan buku tersebut maka
kualitas dari buku tersebut akan dikesampingkan demi pemenuhan kebutuhan pasar.