Selasa, 12 Maret 2013

Konsep Logika dalam Karya Edgar Allan Poe

Hal pertama yang saya sadari ketika saya membaca karya Edgar Allan Poe, dalam
hal ini adalah tiga cerita pendeknya "The Black Cat", " The Tell-Tale Heart",
dan "The Purloined Letter", adalah tampaknya term-term persamaan logika dalam
narasi teks tersebut. Hal ini berkaitan dengan usaha karakter pembunuh atau
pelaku yang seringkali dianggap memiliki perilaku menyimpang, mengingat bahwa
argumen ini belum tentu sahih. Dari tiga cerita yang saya sebutkan tadi, dua
diantaranya bisa disebut cenderung identik. Dua karakter utamanya juga merupakan
narrator dari ceritanya yang berarti memiliki kekuasaan lebih banyak untuk
mengeluarkan suara di dalam ceritanya. Namun kekuasaan dalam bersuara ini
kemudian dimanfaatkan justru untuk menutupi diri para tokoh tersebut. Suara yang
dimiliki kemudian digunakan untuk memberikan justifikasi terhadap perbuatan
mereka, membunuh.

Tokoh narator ini memberikan argumen- argument yang saya asumsikan sebagai term-
term dalam pengambilan keputusan dalam hukum logika. Argumen ini ditujukan untuk
menjustifikasi perbuatannya sehingga pada umumnya term- term ini harus dibuat
sedemikian rupa agar meyakinkan pembaca dan pada akhirnya pembaca dipaksa
memercayai kesimpulan yang ingin dicapai oleh tokoh tersebut. Namun ada sesuatu
yang saya anggap ganjil pada pengambilan kesimpulan oleh tokoh- tokoh ini. Hal
inilah yang nantinya akan menjadi fokus dalam penelitian saya.

Kerunutan dalam pengambilan kesimpulan dalam suatu konsep logika saya temui
dalam dua mata pelajaran, Bahasa Indonesia dan Matematika, pada tataran sekolah
menengah atas dan dalam suatu mata kuliah tersendiri bernama Logika pada tataran
perguruan tinggi. Konsep pengambilan kesimpulan pada umumnya terdiri dari tiga
argumen atau term. Term pertama bersifat asumsi umum bagi suatu kasus, term
kedua bersifat khusus, sedangkan term ketiga merupakan kesimpulan.

Sebagaimana dijelaskan Robert Con Davis(1983) bahwa Lacan memformulasi suatu
notasi mengenai petanda dan penanda. S' digunakan untuk menyimbolkan petanda,
s digunakan untuk meyimbolkan penanda, sedangkan garis yang memisahkan dua
simbol itu menyatakan jenjang yang membatasi keduanya. Notasi ini kemudian
dikembangkan menjadi bentuk algoritma yang menjelaskan karya Freud " Instincts
and Their Vicissitudes" seperti berikut ini:




Secara sederhana, algoritma di atas dapat diartikan sebagai berikut: ular
merupakan petanda sifat culas. Sifat culas merupakan salah satu penanda dari
sifat buruk Moriarty. Akumulasi dari petanda dan penanda tersebut adalah ular
menjadi petanda bagi sifat buruk Moriarty. Algoritma di atas saya rasa dapat
diaplikasikan untuk menjelaskan bentuk dari pengambilan kesimpulan dalam konsep
logika, yang berakar dari logika Aristotelian, di dalam karya- karya Poe.

Dengan demikian, tahap yang dimungkinkan untuk penelitian saya mengenai produksi
logika karya- karya Poe yang akan saya identifikasi melalui pengambilan
kesimpulan dari narasi tokohnya ialah:
1. Mengkategorisasi argumen- argumen yang ada ke dalam kesimpulannya.
2. Mengidentifikasi term yang dianggap sahih atau tidak menurut kaidah logika
Aristototeles.
3. Mengaplikasikan algoritma Lacan untuk membantu identifikasi bagi term- term
tertentu

Bagaimanapun, asumsi kejanggalan atau ketidaksahihan term- term yang dipakai
dalam narasi teks Poe yang berujung pada ketidaksahihan argumen dari tokoh dalam
narasinya masih patut dipertanyakan. Meski pada akhirnya saya dapat menunjukan
ketidaksahihan argumen para tokohnya, namun hal ini hanya berdasarkan pada
kaidah yang dibuat Aristoteles ribuan tahun yang lalu. Ada kemungkinan bahwa
justru hal ini yang menjadi tujuan dari Poe atau teks-nya, ingin mendefamiliasi
sebuah kaidah logika dengan membuat pengambilan kaidah yang tidak sahih sehingga
peninjauan terhadap konsep kembali dilakukan. Asumsi lain, menurut salah satu
respon terhadap argumen mengenai ketidaksahihahan term dalam narasi cerpen
tersebut, adalah memang Poe melakukan ini untuk memertanyakan asal muasal dari
term pertama.

Yang selama ini dilakukan adalah bahwa kita berkutat pada cocok tidaknya dua
term awal dengan kesimpulannya. Kegiatan demikian membuat kita luput untuk
memerhatikan asal dari dua term awal. Alih- alih mawas pada kemungkinan
ketidaksahihan term- term awal atau argumen awal, kita hanya akan disibukan
kegiatan mencocok- cocoka kepingan puzzle. Inilah yang dijadikan dasar mengapa
narasi- narasi pada karya Poe tersebut harus bertentangan atau menjadi janggal
satu sama lain.

Tampaknya, tinjauan lebih lanjut akan saya lakukan terhadap kaidah Logika dari
Charles Sanders Peirce mengingat Peirce memiliki latar belakang yang kurang
lebih sama dengan Edgar Allan Poe untuk melihat kemungkinan dari berbagai asumsi
di atas. Asumsi- asumsi lain yang mungkin luput untuk saya soroti menjadi tujuan
bagi postingan ini.

1 komentar:

  1. Tulisan anda sangat sulit dimengerti. Apakah maksud tulisan anda bahwa logika Poe tidak mengikuti konsep logika Aristoteles?

    BalasHapus